Thursday, July 5, 2007

Viva Bhayangkara

Jakarta, pagi itu terlihat muram. Awan tebal sejak shubuh telah menyelimuti kota tercinta ini. Dan sebagai mana lazimnya yang sudah-sudah, awan tersebut akan diikuti oleh air yang turun dari langit, hujan. Gerimis mula-mula, kemudian menjadi deras dan berangin. Sungguh sebuah situasi yang sangat mengerikan untuk bepergian.

Saya, pagi itu, pun tak kalah muram dengan Jakarta. Tak lain sebabnya, di situasi yang semengerikan dan mencekam tersebut, saya harus berangkat menunaikan kewajiban sebagai salah satu karyawan SMP Labschool Kebayoran, tempat saya bekerja. Tanpa semangat dan dengan diiringi do’a serta “murka” orang tua, saya menebalkan tekad untuk berangkat juga. Lumayan hasilnya, saya berangkat dengan setengah hati. Setelah membaca do’a dan berikhtiar dengan memakai mantel tua, saya berangkat juga. Tetap dengan setengah hati saya.

Situasi jalan di Jakarta, pagi itu, benar-benar mencekam. Hujan yang sangat deras, ditingkahi dengan angin yang kencang, belum jalan yang licin (dan ban belakang yang botak) membuat hati ini semakin berdebar. Bayangan bakal berbasah-basahan dan kemungkinan masuk angin, mulai terbayang di benak saya. Sempat terpikir untuk berhenti bahkan balik pulang ke rumah, tapi tidak. Mati-matian saya menjaga setengah hati saya, agar tidak turun lagi kadarnya menjadi seperempat, atau bahkan habis sama sekali. Dan akhirnya, masih dengan setengah hati, saya berangkat.

Perempatan CSW, pagi itu, masih dengan situasi dan kemuraman yang sama. Lampu merah dan hujan yang makin deras menambah beban untuk meningkatkan kadar setengah hati saya. Ketika itu, tak segaja pandangan saya menangkap sebuah sosok berselimut mantel hujan putih. Dengan sigap dan senyumannya, di tengah guyuran hujan yang deras, beliau sibuk mengatur lalu-lintas. Tak terlihat keluh kesah atau gerutuan dari wajah dan lisannya. Bahkan sesekali senyuman ia lemparkan kepada para pengguna jalan yang melintas. Perpaduan antara ketegasan dan semangat, dengan kelembutan dan ketulusan. Bravo, proviciat !! Tak henti-henti decak kagum dan pujian ku sematkan kepadanya, meski dalam hati. Seraya berdo’a untuk kebaikannya dan kami semua.

Bapak polisi tersebut, pagi itu, adalah ksatria sesungguhnya bagiku. Episode tersebut, pagi itu, telah mengajarkan banyak lagi pelajaran hidup bagiku. Sejenak, aku lupa, ketika dulu masih menjadi mahasiswa, sering kali bersinggungan dengan polisi ketika aksi. Sejenak lupa dengan “oknum” polisi yang secara kurang ajar menilang saya (lho ??), sejenak lupa tentang frame masyarakat kita, kebanyakan, tentang polisi. Pagi itu sosoknya begitu indah di mata saya. Dan ajaibnya, setengah hati saya ketika itu, telah meningkat kadarnya. Dengan sekejap saja. Dan tanpa direncanakan sebelumnya, senandung ini terlontar begitu saja dari mulut saya. Senandung yang biasanya, mengakhiri aksi saya, kami, yang ketika itu masih berstatus mahasiswa. “Terima kasih, terima kasih, terima kasih Pak Polisi…”.

Dan Jakarta, pagi itu, tidak terlihat muram lagi...

No comments: